Melihat kisah Amrozi Cs plus kelompok-kelompok Islam yang mengusung teologi maut nan berdarah seperti yang dibilang Buya Syafi’i Maarif dalam wawancaranya di DetikNews “Umat Islam Harus Berhenti dari Teologi Maut”, Saya jadi teringat pada apa yang dibilang Mas Dawam Raharjo sewaktu Training Penegakan Hak-hak Sipil Sosial Ke-Agamaan Jaringan Islam Kampus (JarIK) Jakarta di Ciloto kemarin. Katanya, bahwa jangan-jangan memang Islam yang ‘bener’ adalah Islam yang seperti di ‘amini’ oleh Amrozi Cs dan kelompok Islam garis keras lainnya…”.
Dalam diskusi tentang pluralisme itu, mas Dawam coba menguliti isi kepala kami agar kritis membongkar sejarah, bahwa faktanya sejarah Islam penuh dengan intrik yang menelan korban, yang meski kerap secara apologetis disanggah tapi itulah faktanya.
Sekedar mengkaji, bahwa arus atau mainstream garis keras yang kerap saling menyalahkan pemahaman-pemikiran , mengklaim kubu sendiri yang paling benar, bahkan menghalalkan darah termasuk sesama muslim bukanlah hal baru dalam titian peradaban Islam, apalagi terhadap non-muslim.
Karena jika dilihat dari sejarah Islam juga merupakan sejarah yang berdarah-darah, penuh tragedi pembunuhan, bahkan cucu nabi saja mereka penggal dan kepalanya ‘katanya’ dijadikan bola.
Dan menurut Mas Dawam, hampir sebagian sahabat Nabi tewas terbunuh oleh ummat Islam sendiri termasuk kelompok sahabat As-Sabiqunal Awwalun. Jadi sangat mengerikan, kalau seandainya ada sepuluh persen saja umat Islam di dunia punya faham yang rada-rada mirip `teologi maut’ yang dipegang teguh Amrozi Cs, maka alamat bukan rahmatan lil alamin yang ada, tapi kemudharatan bagi seluruh alam.
Terlepas dari munculnya beragam tanggapan tentang eksekusi Amrozi Cs, kita dapat bayangkan, di Indonesia sendiri yang membela Amrozi Cs dan kelompok garis keras sudah sekian banyak, malah pakai acara demo, yang kayaknya kalah massif dan kalah terorganisir seperti gerakan mahasiswa dibandingkan mereka.
Kira-kira mungkin di dalam otak mereka yang ada cuma pedang, cara merangkai, memasang dan merakit bom, cara melempar granat, cara menenteng dan menembakkan AK-47, RPG serta strategi taktik (stratak) untuk membakar dan merusak, mungkin!
Kalau dipikir-pikir apa benar umat Islam sudah separah itu? Mungkin akibat penjajahan beratus tahun kali yang mengakibatkan umat Islam gampang tersinggung jika bersentuhan dengan umat yang lain terutama yang berbau Barat. Mereka menganggap bahwa Barat sebagai `kafir’ penindas yang halal darahnya, karena telah menyebabkan umat Islam ternista dalam penjajahan dan kemunduran.
Padahal mungkin kegagalan umat Islam adalah akibat penyakit dan borok dalam umat Islam sendiri terutama pemangku kebijakan dan yang menjadi pemangku otoritas nilai dalam membaca tanda-tanda zaman sehingga gagal dan terlambat start dalam bidang ilmu dan rasionalisasi kehidupan.
Malah ada yang pernah menyatakan seandainya Turki Ustmani pada abad 18 dan akhir abad ke-19 tidak terlalu terlena tenggelam dalam kemewahan dan kemerosotan kepemimpinan serta jatuh dalam kepasifan berfikir dan berkreasi-berinovas i karena terlalu dogmatis, malah jatuh dalam dunia mitos kebesaran masa lalu, mungkin Turki Utsmani akan lebih dahulu menjemput kejayaan memasuki dunia modern dibanding Rusia.
Tapi apa daya, penyakit “telmi” sudah lebih dahulu mengakar, seakan-akan segala persoalan dunia ini jika sudah dibacakan Alquran, maka akan tuntas tanpa ikhtiar dan ijtihad.
Celakanya pemikian seperti ini di’langgengkan’ oleh ulama-ulama, termasuk dengan cerita romantisme sejarah pada zaman Nabi, sahabat, kekhalifahan dan seterusnya sebagai suatu referensi bahwa jika ingin sukses maka terapkanlah apa yang pernah ada pada zaman dulu kala itu.
Kesalah-kaprahan ini justru melahirkan pemahaman sektarian sebagai altenatif jalan hidup semakin meninabobokan dan menutupi mata umat dari realitas zaman.
Yang jarang dibaca secara kritis adalah suatu fakta bahwa umat Islam periode dulu kala maju karena semangat mencari ilmu dan hikmah, pengembangan nalar-dialogis serta interaksi antar peradaban seperti dengan peradaban Yunani, Mesir, Romawi, India dan Cina yang sangat dinamis sehingga mendorong kemajuan, bahkan dapat dikatakan umat Islam adalah umat yang `rakus’ akan suatu ide baru.
Mereka melahap semua hikmah yang didapat dari hasil pertemuan peradaban tersebut dan dengan semangat perubahan maka lahirlah inovasi luar biasa di dunia Islam. Kalau sekarang yang ada malah menjauhkan diri dan mengedepankan permusuhan, wajar saja ketika umat lain sudah pada berada di depan, umat Islam tetap dapat jatah buntut. Akibat bentuk kegagalan beradaptasi dengan arus modernitas yang semakin tak terbendung, maka bukannya melakukan penyesuaian dan pengadopsian nilai-nilai universal yang sebenarnya juga menjadi semangat Islam dan baik buat kemajuan, malah menutup diri dan memilih jalur kekerasan sebagai bentuk pelampiasan terhadap kegagalan.
Sekarang, terserah kita bagaimana mau menyikapi dan berjuang meluruskan pemahaman umat. Kasihan juga umat kita, udah miskin melarat, diajarin membunuh pula dan merusak pula! Wallahu a’lam.