Dewasa ini banyak orang yang keluar batas tuntunan Rasul, karena fenomena yang ada seperti itu. Manusia dituntut untuk selalu beruaha memperoleh cita-cita dunianya. Disisi lain upaya itu tidak dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan rohaninya. Yang terjadi kemudian adalah dekadensi (penurunan) moral melanda masyarakat, baik rakyat, pejabat, maupun wakil rakyat. Bagaimana mungkin seseorang akan sukses di akhirat?, sedangkan di dunia saja mereka sudah jauh dari syari’at Allah.
Maka jalan keluar yang efektif adalah dengan mengembalikan kesemuanya pada tempatnya.. Artinya manusia mampu menilai kembali sejauh mana dirinya meninggalkan syari’at Rasulullah yang agung ini.Tidak ada kata terlambat dalam bertaubat, di satu sisi orang enggan bertaubat karena anggapan dia dosanya sudah terlampau banyak, padahal Allah Maha Pengampun, dan Maha Pemberi Rahmat. Perkara seorang koruptor, perampok, lintah darat tidak segera bertaubat, itu karena rahmat Allah belum merasuk kedalam relung hati mereka. Jika Allah menghendaki, kesemuanya akan kembali padaNya.
Terlepas dari ada dan tidaknya Rahmat Allah, seorang muslim sudah sewajarnya bermuhasabah (introspeksi diri) kehadlirat Allah Azza wa Jalla. Jalan utama untuk itu akan mengembalikan hubungan vertical kita yang selama ini terputus, istighfar mempunyai arti permintaan hamba kepada Rabbul Alamin untuk mengampuni dosanya. Di lain sisi, istighfar menuntut sisi praktik yang tidak hanya sekedar ucapan lisan belaka, lebih dari itu ada nuansa khusyu’ yang memang harus disajikan seorang hamba di dalamnya (istikhdlorul qolb). Setelah itu hamba harus punya komitmen kuat untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat di kemudian hari.
Sebagian kalangan sufi mencapai maqom yang tinggi dengan cara mudawamah (continue) dalam beristighfar untuk orang muslim. Padahal kesehariannya ia hanya seorang penjaga masjid. Setiap saat ia memunguti dedaunan yang berserakan di halaman masjid. Di tiap daun yang ia ambil ia ucapkan istighfar untuk orang muslim (astaghfirullah lil muslimin wal muslimat). Secara tidak langsung, hal ini menggambarkan bahwa, betapa agungnya nilai istighfar di hadapan Allah, dan betapa adilnya penghargaan Allah terhadap seorang hamba.
Sabda Nabi Muhammad SAW tentang istighfar : "Berbahagialah orang yang terdapat pada lembaran amal hariannya istighfar yang banyak" (Hadits shohih). Sabda Nabi lagi mengenai istighfar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah dan Hakim : ‘Barang siapa yang selalu beristighfar, maka Allah akan menjadikan baginya kesenangan dari setiap kesusahan dan kemudahan dari setiap kesempitan, dan Allah akan memberinya rizqi yang tidak ia duga".
Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata : "Tidak pernah ku dapati seseorangpun yang paling banyak mengucapkan astaghfirullah wa atubu ilaihi, kecuali dari Rasulullah". Kemudian hadits ini di komentari oleh Hatim, bahwasannya Rasulullah beristighfar itu mengandung dua kemungkinan,
Pertama : karena Allah mensyari’atkan bacaan istighfar pada umat, lewat lisan Rasulullah yang mulia. Sekaligus mencakup tatanan teori dan praktek yang merupakan karakter agama islam.Hingga klimaksnya Rasulullah adalah orang yang paling istiqamah membaca istighfar. Sedangkan Rasulullah sendiri telah di ampuni dosa yang sebelum dan sesudahnya.
Kedua : kemungkinan terjadinya kekurangan kadar ketaatan Rasulullah, bukan pada tataran dosa seperti kita. Sekaligus memohon perlindungan dari keberadaan setan. Demikian sifat agung Rasulullah, ketika di perintah oleh Allah pada sebuah ketaatan, Rasulullah selalu istiqamah menjaganya. (***)