"Musik di masa sekarang bagaikan sembako yg menjadi kebutuhan hidup semua orang". Mungkin begitulah kata2 yg tepat untuk melukiskan bagaimana musik sudah tidak bisa dilepaskan dr kehidupan sehari2. Berbagai jenis aliran dimodif sedemikian rupa demi memenuhi tuntutan publik, mulai dr aliran bawah tanah atau yg lebih sering d knl dngan underground, hardcore, ska, alternatif, emo, dangdut, hingga islami. Sya'ir2 dr aL-Qur'an dan shalawat tidak luput d gubah mnjadi bagian olah aransemen. Inilah realitas, dan ironisnya masyarakat awam hanya tau satu hal, bahwa musik adalah sebagian dr kemajuan zaman yg sah untuk dinikmati. Kita tengok ke belakang, jauh2 hari Imam aL-Ghozaly telah memberikan perhatian serius dlm hal ini. Beliau menyisihkan satu kajian khusus yg mengulas tentang musik. Satu hal yg perlu kita rekam dari penjelasan beliau dlm penjelasan "adab as-sima", bahwa keharaman alat2 malahi pada dasarnya ditetapkan atas dasar tiga illat (Ihya Ulumiddin vol. ll hal 269). Namun dapat kita saksikan, dlm tataran aplikasi para ulama cenderung membatasi persoalan musik begitu ketat dan selektif. Disinilah kita perlu menyelesaikan secara tuntas disharmony antara konsep dan realita dalam fenomena musik di tengah2 masyarakat.
Pertanyaanya
Bagaimanakah kriteria musik yg legal syar'i dan yg ilegal syar'i?
Abstraksi
dalam salah satu hadits nabi bersabda: "Hisyam bin Ammar berkata; Shodaqah bin Kholil berkata kepadaku, dia berkata; Abdurrahman bin Yazid bercerita kepadaku dan menyambungkan sanadnya sampai Abi Amir dan Abi Malik aL-Asy'ary bahwa Nabi SAW bersabda; niscaya akan ada di tengah2 umatku golongan yg menghalalkan zina, sutra, khamr dan ma'azif".
Dalam hadits tersebut secara implisit terdapat kecaman nabi terhadap alat musik. Namun para ulama terpecah menjadi dua kubu dlm melakukan seleksi validitas hadits tersebut. Satu versi di antaranya Ibn Hazm menilai dlo'if hadits itu, disebabkan munqothi'nya (putusnya) antar perawi dlm sanadnya. Menurut versi kedua hadits di atas shahih baik secara sanad maupun matan. Dari perbedaan seleksi validitas hadits di atas dan dipertajam dengan ragamnya cara pandang dlm memotret realitas sosial, berimbas trhadap sikap dan penilaian ulama terhadap legal tidaknya alat musik.
Keharaman musik pada hakikatnya bukan terletak pada dzatiyahnya alat2 musik, melainkan dr suara yg ditimbulkan. Disamping juga dipicu beberapa potensi efek negatif yg menjadi faktor eksternal larangan alat musik. Di antaranya adalah; pertama, potensial mendorong perilaku negatif, seperti minum2an keras atau mengkonsumsi drugs sehingga tenggelam dlm kemaksiatan. Hal ini bisa dibuktikan pada perhelatan konser musik, diskotek, yg acap kali terjadi perilaku2 negatif yg bermula dari histeria alunan melodi musik. Kedua, alunan musik juga dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang, sehingga bagi orang2 tertentu akan dapat mengembalikan nostalgia perilaku negatif yg pernah dilakukan, hingga timbul keinginan dan dorongan untuk kembali melakukan. Ketiga, musik identik sebagai tradisi orang fasiq. Secara psikologis ketika seseorang meniru atau menyerupai orang lain akan timbul kecenderungan pada pihak yg diserupai tsbt, bahkan bukan tidak mungkin dlm hal2 negatif.
Adapun kriteria musik yg legal syar'i dan nuansa khilafiyahnya adalah sebagaimana berikut:
=> Alat musik terbang (ad-duff)
=> Semua varian alat musik pukul, menurut Malikiyyah, Hanafiyyah dan sebagian Syafi'iyyah, terkecuali gendang kecil (al-kubbab) menurut aL-Ghazaly, dan alat musik pukul yg memakai stick menurut Hanafiyyah. Hanya saja Hanabilah tetap memakruhkan varian ini kalau tidak memiliki manfa'at.
=> Seruling dari buluh (al-yaro'), menurut Ar-Rafi'i dan aL-Ghazaly dan sebagian Malikiyah.
=> Alat musik gesek dan petik pada momen resepsi pernikahan dlm rangka publikasi (ifsya') menurut sebagian Malikiyyah. Kendati sebagian lain tetap memakruhkan.
Sedangkan kriteria alat musik yg ilegal adalah:
=> Semua varian alat musik pukul menurut mayoritas Syafi'iyyah.
=> Semua varian alat musik tiup menurut Hanafiyyah sebagian Syafi'iyyah dan Malikiyyah.
=> Semua varian alat musik petik dan gesek menurut Syafi'iyyah, Hanafiyyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyyah.
Kriteria yg masih diperselisihkan tersebut sepanjang bebas dr tiga unsur motif larangan musik, sebaliknya jika telah memenuhi salah satu dr ketiga unsur motif larangan di atas maka para ulama sepakat keharamanya. Bahkan pendapat Ibn Hazm yg melegalkan alat musik diklaim sebagai pendapat yg tidak bisa dijadikan pedoman (mu'tabar).
Pertanyaan
Jika musik diklaim haram, bagaimana ketika dijadikan sebagai instrumen pengiring shalawat dan aL-Qur'an?
Abstraksi
Pada dasarnya nuansa musical pada bacaan tersebut bertujuan menarik antusiasme kegandrungan terhadap seni yg bercorak religi, sembari menonjolkan bacaan yg ritmis-estetis dengan tanpa melanggar kaidah2 baku teori baca (tajwid). Sebab secara naluriah kecenderungan akan tercipta pada bacaan yg indah. Pada akhirnya antusiasme masyarakat pada bacaan shalawat dan aL-Qur'an akan meningkat secara signifikan. Dan qorinah (indikasi) memproporsikan musik sebagai media memacu masyarakat lebih antusias dlm melantunkan shalawat dan aL-Qur'an sudah terpenuhi. Hal ini identik dengan menjadikan air ludah sebagai penghapus tulisan yg acap kali berupa hadits atau asma' mu'adhom,