The
Second World Peace Forum yang diadakan oleh Muhammadiyah, Cheng Ho
Foundation, dan Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations
(CDCC) (24-26 Juni 2008) merupakan pertemuan tokoh-tokoh agama dan
politik dari berbagai negara. Salah satu tujuannya adalah berupaya
menyuarakan agama untuk membangun perdamaian. Forum semacam ini menarik
untuk dikaji dalam kaitannya dengan sejauh mana efektivitas seruan
agama dalam meredam kekerasan.
Dalam
tujuh tahun terakhir tercatat ada beberapa forum serupa yang diadakan
oleh organisasi masyarakat (ormas) berbasis agama, di antaranya Summit
of World Muslim Leaders digelar di Jakarta pada 2001 dengan 180 peserta
dari 50 negara. Konferensi itu menghasilkan Deklarasi Jakarta 2001 yang
mengandung pesan bahwa Islam adalah agama moderat yang cinta damai,
antikekerasan, dan tidak antikemajuan. Berikutnya adalah The Jakarta
International Islamic Conference (JIIC), dilaksanakan atas kerja sama
NU-Muhammadiyah pada 2003. Konferensi ini ingin mempertegas peran Islam
moderat Asia Tenggara yang sejauh itu telah direpresentasikan oleh NU,
Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya. Dua tahun lalu juga
digelar International Conference of Islamic Scholars (ICIS) I dan II,
di Jakarta, dihadiri cendekiawan dari 53 negara.
Memang
tidak mudah untuk melihat seberapa besar pengaruh forum internasional
berbasis agama itu terhadap perdamaian dunia. Meski ada penurunan aksi
teror berbasis agama di Indonesia, tetapi hal itu tidak serta-merta menggambarkan adanya pengaruh langsung forum-forum tersebut. Ada
banyak faktor yang bisa memengaruhinya, seperti kinerja polisi yang
semakin bagus, keterlibatan masyarakat dalam melaporkan lokasi yang
diduga menjadi tempat berkumpul para teroris, menipisnya pendanaan dari
funding, dst.
Pernyataan Hans Kung cukup relevan untuk diangkat di sini. Kung dalam bukunya A Global Ethics for Global Politics and Economics
menyerukan pentingnya melibatkan nilai-nilai agama dalam membangun
perdamaian global (1997). Seruan Kung ini sebenarnya telah menjadi
rumusan dari deklarasi Parlemen Agama-agama Sedunia di Chicago pada
1992, yang selanjutnya dikenal sebagai etika global. Deklarasi etika
global itu bukan bermaksud membentuk agama baru, melainkan mengambil
nilai-nilai etika dari agama-agama untuk memperjuangkan perdamaian
global. Tidak bisa ditampik bahwa semua agama memiliki ajaran
perdamaian. Namun meskipun fakta ini terlihat jelas, sebagian besar
pemeluk agama lebih menitikberatkan ''klaim keselamatan dan
kebenaran''. Sehingga, alih-alih menyuarakan perdamaian, agama lebih
sering dilibatkan dalam pertikaian.
Forum
yang melibatkan agama untuk menyuarakan perdamaian memiliki sisi lain
yang bisa menjadi nilai lebih. Sejauh ini kepatuhan manusia terhadap
ajaran agama tidak disebabkan oleh ketakutan pada lembaga tertentu,
institusi negara misalnya. Ketaatan pemeluk agama lebih didorong oleh
komitmen kepada sesuatu yang transenden, yaitu Tuhan. Dinamika komitmen
transendental itu yang digambarkan dengan kadang-kadang tergelincir
dalam tindak kejahatan, tidak menghapus asumsi bahwa agama memiliki
''kekuatan lebih'' dalam membentuk karakter seseorang. Karena itu juga
tidak mengherankan jika ada seseorang yang berani mengorbankan hidupnya
dalam suatu aksi bom bunuh diri atas dasar keyakinan pada agamanya.
Fenomena itu tidak hanya ditemukan pada dunia Islam. Lihat saja sejarah
Perang Salib. Betapa banyak prajurit yang berperang dengan perasaan
yang lebih heroik karena meyakini tindakannya sebagai perjuangan di
''jalan Tuhan''. Begitu pula para biksu di Myanmar
dalam melawan rezim tiranik militer. Jadi dengan melibatkan agama,
diharapkan masyarakat dunia lebih bisa menghayati bahwa upaya
mewujudkan perdamaian dunia merupakan ukuran dari ketaatan kepada Tuhan.
Sejauh
ini perdamaian dunia tidak sepenuhnya dapat diwujudkan. Meski Perang
Dunia pertama dan kedua telah menorehkan kepedihan dan luka yang
mendalam, namun hasrat berperang tampaknya masih ''membara''. Konflik
yang makin memanas di Timur Tengah, serta keterlibatan negara-negara
Barat dalam konflik tersebut, cenderung memperlihatkan masa depan
perdamaian akan suram. Agaknya, ''nalar negara'' sebagaimana dinyatakan
oleh Richelieu sudah menyatu dengan
politik diplomasi elite-elite politik dunia. Dalam ''nalar negara'',
orientasi politik tertinggi adalah kejayaan dan kemajuan negara
sendiri, yang atas dasar itu membolehkan kebijakan apapun asalkan dapat
memakmurkan negara. Pandangan seperti ini jelas berakar kuat pada
konsepsi politik Machiaveli. Perang antarnegara banyak disebabkan oleh
hal ini. ''Nalar negara'' tidak hanya menimbulkan represi pada rakyat,
tetapi juga terhadap negara-negara lain yang dianggap dapat mengancam
kekuasaannya. Karena itu menggunakan pendekatan politik semata-mata,
akan selalu mengalami benturan dengan ''nalar negara'' yang sudah
mengakar kuat ini.
Melibatkan
agama dalam meredam kekerasan bisa jadi terkesan tradisional. Sebab
agama merupakan warisan masa lalu. Proses konstruksi ajaran agama yang
terjadi ratusan bahkan ribuan tahun lalu bisa jadi memproyeksikan
simplifikasi pikiran masyarakat pada masa itu. Sehingga pesimisme
terhadap pendekatan agama seringkali muncul. Namun apatisme ini tidak
perlu menjadi ukuran tentang tidak signifikannya peran agama dalam
kasus ini. Kerja-kerja membangun perdamaian memang bukan hal yang
sederhana dan mudah. Mempercayai suatu pendekatan hanya sebagai
satu-satunya yang paling ampuh dalam membangun perdamaian, jelas sangat
jauh dari kenyataan.
Maka
forum perdamaian dunia yang dilaksanakan tokoh-tokoh agama ini adalah
suatu alternatif yang melengkapi pendekatan yang sudah ada. Semoga
perdamaian global menjadi semakin dekat untuk dicapai.