Sebelum era kedatangan Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, nasib
perempuan dimata dunia berada dalam kondisi yang suram. Hampir disemua
bangsa di belahan dunia ini, tak terkecuali bangsa Arab Kuno, memandang
sinis dan hina makhluk keturunan Hawwa ini. Perempuan dianggap tak
lebih sekedar ’alat’ untuk memenuhi hasrat seksual sesaat. Tak lebih!
Kondisi
peperangan antar bangsa pada masa dahulu diyakini sebagai penyebabnya.
Seorang ayah akan merasa bangga jika keturunan mereka adalah seorang
laki-laki, dengan harapan bisa dipersiapkan untuk berperang membela
martabat keluarga dan kaumnya. Jika yang lahir adalah seorang anak
perempuan, maka seorang ayah akan merasa kecewa dan malu kepada
kaumnya. Sampai-sampai untuk menutupi kekecewaan ini, anak perempuan
mereka dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Tragis. Begitulah potret suram
kaum perempuan sebelum era kedatangan Islam.
Pasca kedatangan
Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, kaum perempuan mendapatkan
’ruang bernapas’ yang segar dan kedudukan terhormat serta terpuji.
Bahkan, Rasulullah SAW dalam sabda beliau, ketika beliau ditanya oleh
seseorang mengenai siapa yang paling berhak dipergauli dengan baik,
menegaskan ibu, seorang perempuan, tiga kali. Barulah setelah itu ayah.
Sebuah perhormatan yang luar biasa.
Dari Abu Hurairah RA, dia
berkata:” Ada seorang laki-laki dating kepada Rasulullah SAW lalu
bertanya: “Wahai Rasulullah SAW, siapakah orang yang paling berhak saya
temani dengan baik?” Beliau jawab:”Ibumu.” Dia berkata:”Kemudian
siapa?” Beliau jawab:”Ibumu.” Dia berkata:”Kemudian siapa?” Beliau
jawab:”Ibumu.” Dia berkata lagi.”Kemudian siapa?” Beliau
berkata:”Ayahmu.” (HR.Bukhari-Muslim)
Dalam perjalanannya, kaum
perempuan, yang akan menjadi seorang ibu, memegang peranan yang sangat
strategis dalam kemajuan suatu kaum atau bangsa. Ditangan sosok ibu
inilah masa depan bangsa dipertaruhkan. Mengapa demikian? Hal ini
dikarenakan seorang ibulah yang paling banyak berinteraksi dengan
seorang anak. Ibu yang melahirkan, mengasuh, dan tentu saja mengarahkan
si anak, akan dibawa kemana si anak. Tokoh-tohoh dunia sekaliber Umar
bin Khattab, Khalid bin Walid; ’Si-Pedang Allah’, Shalahudin Al-Ayyubi;
pahlawan Islam dalam perang salib, Buya Hamka, dan seluruh para
pemimpin baik yang terdahulu maupun zaman sekarang dilahirkan dari
rahim seorang perempuan. Termasuk Fir’aun, Charles Darwin; peletak
teori evolusi yang membingungkan, Hitler; si tangan besi, Lenin, Karl
Mark, juga lahir dan pernah merasakan kasih sayang seorang perempuan.
Dua hal yang bertolak belakang. Akan tetapi dilahirkan dari rahim yang
sama, seorang perempuan. Mengapa bisa bertolak belakang? Ini tidak lain
karena noda dan celupan yang digoreskan oleh orang tuanya, terutama
sosok ibu. Karena ibulah yang paling banyak berinteraksi dengan anak.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
Dari Abu Hurairah R.A
bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang anak itu dilahirkan melaikan
dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orang tuanya yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R.Bukhari)
Baik atau buruknya
akhlak generasi muda suatu bangsa tak bisa lepas dari peran seorang
ibu. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh seorang ibu di rumah tangga
sangat berpengaruh pada akhlak dan pemikiran si anak di masa mendatang.
Rumah tangga merupakan pendidikan pertama yang diterima oleh si anak
sebelum ia masuk ke sekolah-sekolah resmi. Didikan sang ibu akan
terpatri diingatan si anak membentuk kerangka berfikir. Seorang anak
bagaikan selembar kertas putih, terserah mau dituliskan apa oleh orang
tuanya. Ibu adalah penentu masa depan, sebab merekalah yang membuat
generasi.
Dalam suatu syair Arab diungkapkan,
Ibu laksana sekolah
Jika engkau menyiapkannya
Berarti engkau menyiapkan generasi
Yang baik sekali
Seorang
ibu yang shalehah adalah mutiara yang tiada duanya, yang akan
melahirkan anak-anak shaleh dan shalehah. Merekalah yang melahirkan
kekayaan insani bangsa ini.
Namun, seorang ibu yang jauh dari
nilai-nilai Islam dan kebenaran akan melahirkan tokoh-tokoh Hitler,
Lenin, dan Karl Mark yang baru yang akan merusak tatanan suatu bangsa
atau kaum. * * *