Semakin dekatnya pemilu 2009 membawa berbagai dampak dalam kehidupan perpolitikan di Negara kita, Indonesia. Para elit politik sudah mulai saling berlomba-lomba untuk konsolidasi kekuatan, agar ketika perhelatan akbar itu digelar, tujuan-tujuan partai bisa dicapai dengan sempurna.
Berbagai konsolidasi partai-partai politik tersebut dilakukan dengan manuver yang berbeda-beda. Namun pada umumnya dilakukan dengan koalisi bersama partai yang lebih mapan dan memisahkan diri dengan partai-partai yang secara politik dipandang kurang berprospek. Partai-partai yang sudah tidak atau berkurang kekuatannya dalam kancah perpolitikan akan ditinggalkan. Dan partai-partai yang kuat akan didatangi dan diajak bergabung.
Hal tersebut akan menyisakan masalah-masalah yang berhubungan dengan persatuan dan kesatuan muslimin khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya. Perpolitikan yang punya idiom “Tak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan pribadi,“ tentu akan selalu mencari kawan yang menguntungkan dan membuang jauh-jauh kawan yang tidak mengutungkan. Dengan berorientasi pada kepentingan kekuasaan, tentu akan banyak terjadi gesekan-gesekan yang amat rentan membuahkan perpecahan. Padahal Allah SWT memerintahkan pada kita untuk senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan. Bagaimanakah cara kita bersikap? Baik sebagai warga negara maupun sebagai seorang muslim. Dan bagaimana pula pandangan Islam tentang fenomena semacam itu? Mari coba kita uraikan.
Di jaman Rasulullah SAW, atau kurun setelahnya, tidak dikenal sama sekali istilah partai politik seperti sekarang. Meskipun Islam sendiri mengatur secara mapan kaidah-kaidah dasar dalam berpolitik secara santun dan sesuai dengan apa yang telah digariskan. Dan perpolitikan yang diusung oleh Islam tempo dulu hanya menjadi menu setiap para pemimpinnya, baik pemimpin nasional maupun dibawahnya. Sehingga orang-orang yang tak berkepentingan terhadap politik tidak pernah ikut campur mengenai persoalan tersebut. Hal ini amatlah wajar, karena pada masa itu hampir tak ditemukan orang yang gila akan tahta. Kekuasaan bagi mereka dipandang sebagai amanat Tuhan dan rakyat yang kesemuanya akan dipertanggung jawabkan kelak. Di samping karena masyrakat kala itu masih teguh memegang idealisme agama.
Sebenarnya partai politik hanya sebuah kendaraan yang ambigu. Ia akan menjadi baik apabila dikemudikan oleh tangan-tangan trampil yang mengetahui jalur mana yang harus ditempuh, agar sampai pada tujuan dengan tanpa mengorbankan orang lain. Namun iapun akan menjadi amat liar apabila dinahkodai oleh orang-orang yang mengandalkan jurus 'dewa mabuk'. Jangankan orang lain akan selamat, bisa jafi ia sendiri juga berada di ambang kehancuran. Oleh karenanya, Islam sendiri tidak mempermasalahkan menjamurnya partai-partai politik. Namun juga tidak secara vulgar merestuinya. Dalam perspektif Islam, partai merupakan salah satu wadah guna tercapainya amar ma’ruf nahi munkar secara optimal. Dengan berpartai, Islam dapat menampilkan jati dirinya, menciptakan masyarakat agamis (Moslem society), dan tidak menjadi bulan-bulanan orang-orang yang memusuhi Islam. Bagaimanapun juga, kebathilan yang terorganisir akan mampu menumbangkan kebenaran yang tak terorganisir, sebagaimana apa yang pernah dikemukakan sahabat Ali r.a.
Sejarah mencatat, kekuasaan Wahabi di Arab Saudi bermula dari parmainan politik yang mereka lancarkan terhadap rival-rivalnya, terutama kaum Sunni. Pada mulanya, mereka menampilkan wajah manis dengan memproklamirkan diri sebagai donatur tetap terhadap anak-anak Sunni yang tidak mampu melanjutkan sekolah. Dengan sistemasis dan rapi, semua siswa yang mereka sekolahkan digiring agar sebisa mungkin melupakan, atau bahkan mengingkari ajaran Ahlussunah yang selama ini menjadi trade mark moyangnya. Dan beralih menjelma menjadi orang-orang Wahabi yang cenderung bersifat militan. Akhirnya dapat ditebak, tanpa menunggu waktu yang lama, generasi Sunni yang tak berdaya dan tidak memiliki power di pemerintahan makin terkikis dan habis, hingga mencapai titik kulminasinya dengan ditandai lahirnya doktrin Wahabi sebagai satu-satunya ajaran resmi Negara.
Dalam setiap event pemilu, dapat dipastikan masyarakat akan terkotak-kotak sesuai dengan aspirasi yang diusungnya. Hal ini wajar saja terjadi, karena setiap orang memiliki penilaian dan sudut pandang yang sudah pasti berbeda. Namun akan menjadi petaka manakala perbedaan sudah diartikan sebagai sebuah permusuhan, sehingga ending-nya adalah perpecahan. Semestinya hal-hal seperti itu tidak perlu terjadi apabila setiap masyarakat benar-benar dewasa dalam menyikapi sebuah perbedaan. Karena bagaimanapun perbedaan adalah kenyataan yang menjadi ujian sebagai anugerah dari Tuhan. Dalam Al quran Allah berfirman:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ [المائدة : 48]
Artinya : “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”. (QS. Al-Maidah:48)
Dengan perbedaan, kita akan tahu bahwa ternyata kita mahluk yang lemah, dengan perbedaan, kita bisa menghargai orang lain, dan dengan pebedaan pula, kita dapat megetahui akan kebesaran Tuhan. Perbedaan juga merupakan rahmat yang harus kita syukuri, sebagaimana sabda Rasululloh SAW ;
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
Artinya : “perbedaan umatku adalah rahmat”.
Meskipun Alloh sengaja menciptakan perbedaan-perbedaan, bukan berarti Alloh SWT sengaja menciptakan lubang perpecahan diantara mahlukNya. Perbedaan justru dikandung maksud agar senantiasa terjadi persaingan sehat antar sesama, juga agar terangkai sebuah corak keberagaman yang serasi. Ibaratnya, sebuah lukisan menjadi teramat indah karena di dalamnya terdapat grasiasi warna yang saling melengkapi. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya sebuah lukisan apabila hanya bermodalkan satu warna. Prinsipnya, perbedaan tidak identik dengan permusuhan, namun perbedaan justru harus dipelihara dengan baik dalam bingkai “ persatuan dan kesatuan “. Ingat pesan Alloh dalam Al quran,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا [آل عمران : 103]
Artinya :“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; “. (QS. Ali Imran :103)
Kesimpulannya, ketika perbedaan adalah satu kewajaran dan perpecahan justru merupakan laknat Tuhan, maka idiom yang tepat bagi setiap partai dan masyarakat seharusnya adalah “ Perbedaan berarti rahmat dan perpecahan berbuntut laknat “. Bukan malah beridiom sebaliknya. Jika setiap partai dan masyarakat secara tulus menyadari hal tersebut, maka pemilu yang akan dihelat beberapa hari lagi akan menjadi pesta yang penuh dengan warna kebersamaan dan berkesudahan dengan senyum persahabatan, bukan adu jotos dan saling jegal.
![lol!](https://2img.net/i/fa/i/smiles/lol.gif)